SELAMAT DATANG DI BLOGKU SEMOGA BERMANFAAT

Selasa, 20 Maret 2012

Macam-Macam Qiro'at al-Qur'an dan Pengaruh Terhadap Istinbath Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 
Al-quran merupakan kitab suci kaum muslimin. Kumpulan wahyu ini dinamakan al-Quran, sebagaimana ungkapan yang dikenalkan dalam banyak ayatnya, yang artinya bacaan. Karena itu, sesuai dengan namanya, kitab suci ini mesti dibaca yang tujuannya agar makna dan ajarannya dapat dipahami, selanjutnya diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan nama ini, secara implisit Allah memerintahkan seluruh umat Islam untuk membacanya, karena hanya dengan kegiatan itu mereka akan mengetahui apa saja tuntunan ilahi yang wajib dijadikan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa cara membaca al-Quran itu tidak sama dengan membaca buku-buku yang berbahasa Arab. Maksudnya, adalah ada aturan-aturan khusus dalam membaca. Bahkan para ulama sepakat bahwa membaca al-Quran dengan cara khusus, yaitu dengan kaidah tajwid. Kesalahan pada bacaan, baik itu karena tidak diperhatikan panjang atau pendeknya kata, tebal atau tipisnya huruf, mendengung atau jelasnya kata yang diucapkan, dan sebagainya tentu akan dapat mengubah makna atau maksud yang sesungguhnya. Karena al-Quran adalah bahasa Arab, maka cara membacanya juga harus mengikuti dialek orang Arab. Dan menirukan dialek orang Arab ini memerlukan kesungguhan dan latihan terus menerus. Jika sudah sampai pada tingkat mahir, maka tidak ada perbedaan antara bacaan orang Arab dan non-Arab. Maka tidak heran, banyak ulama’ yang mengarang kitab-kitab yang secara khusus membahas masalah al-Quran, terutama masalah qiroat, yang dilatar belakangi dengan hadits Nabi “Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf dan bacalah kamu mengikut apa yang mudah darinya”
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini kami merumuskan pembahasan-pembahasannya sebagai berikut;
a) Pengertian qiroat.
b) Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at.
c) Macam-Macam Qiroat.
d) Pengaruh Qiroat Terhadap Istinbath Hukum.
e) Urgensi Mempelajari Qiroat.

BAB II 
PEMBAHASAN 
Pengertian 
Perkembangan ilmu Qiraat dianggap telah bermula sejak permulaan Islam Berbagai bentuk bacaan al-Quran telah wujud pada zaman Rasulullah s.a.w lagi. Umar Ibn al-Khattab telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w tentang khilaf yang berlaku itu untuk mendapat jawapan. Namun Rasulullah mengiktiraf kedua-dua bentuk bacaan tadi dengan bersabda :“ Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf dan bacalah kamu mengikut apa yang mudah darinya ” Hadits ini juga memberi maksud bahwa khilaf bacaan al-Quran adalah untuk memberi keringanan kepada seluruh umat Islam supaya mereka semua mampu membaca al Quran walau apapun jenis bacaan dan lahjah (dialek) digunakan. Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama : • al-Zarqani mengemukakan definisi qiroah sebagai berikut:
مذهب يذهب اليه امام من ائمة القراء مخالفا غيره في النطق بالقرأن الكريم مع اتفاق الروايات و الطرق عنه سواء اكانت هذه المخالفة في نطق الحرف ام في نطق هيئاتها
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiroat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.
Definisi ini menyangkut tiga unsur pokok. Pertama, qiroat yang dimaksud bacaan ayat-ayat, cara membaca al-Quran berbeda dari satu imam dengan imam qiroat lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam satu madzhab qiroat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qiroat-qiroat bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan.
• Sedangkan Ibn al-Jazari membuat definisi lain, yakni “Qiroat adalah pengetahuan tentang cara melafalkan kalimat-kalimat al-Quran dan pembedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”. Menurut Ibn al-Jazari, al-muqri adalah seorang yang mengetahui qiroat-qiroat dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab al-Taisir (kitab qiroat) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’i) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsal). Sebab, dalam masalah qiroat banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Selanjutnya perlu diketahui bahwa al-Quran yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiroat. Suatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang dicetak dibelahan dunia Islam sebelah Timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Utara, misalnya, karena qiroah yang umum diikuti dikedua wilayah ini berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah khalifah Utsman itu tidak bertitik dan tidak berbaris. Karena itu mushaf-mushaf ini dapat dibaca dengan berbagai qiroah sebagaimana yang akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini. Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas. Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil , perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya.
Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :
• Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat.
• Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin.
• Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.
• Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Macam-Macam Qiroat Ibnu Qutaibah telah mengumpulkan bentuk-bentuk perbedaan dalam segi qiroat.
Dalam kitabnya Takwil Musyakilul Quran, Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa perbedaan qiroat itu ada tujuh macam, yakni sebagai berikut;
• Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
• Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19 ربنا بعد بين أسفارنا yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
• Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Saba’ ayat 23 حتى إذا فزع عن قلوبهم yang artinya “Apabila telah hilang ketakutan dari hati mereka”. Ada pula bentuk tulisannya dengan ra’ dan ghain.
• Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat 5, كالعهن المنفوس yang artinya “Seperti bulu yang dihambur-hamburkan“. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
• Perbedaan pada kalimat yang tidak menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada surat Al-Waqi’ah ayat 29, وطلح منضود yang artinya “Dan pohon pisang yang bersusun-susun”. • Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat 19, وجاءت سكرة الموت بالحق yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Pada tempat lain tertulis lafal “al-haq” didahulukan atas lafal “al-maut”
• Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah Luqman ayat 26, إن الله هو الغني الحميد yang artinya “Sesungguhnya Alla itu maha kaya lagi maha terpuji”. Ditempat lain tanpa adanya lafal “huwa”. 
Pengaruh Qiroat Terhadap Istinbath Hukum 
Kata istinbath berasal dari bahasa Arab yang kata akarnya al-Nabth yang artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur. Adapun menurut bahasa berarti mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah). 
Adapun secara terminologi adalah mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Quran dan al-Sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal. Sedangkan kata hukum (hukum Islam) yang sering kali identik dengan syari’at , merupakan salah satu aspek pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Karena itu ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum (ايات الأحكام ). Secara etimonolgi hukum berati menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakannya. Disamping itu bisa juga berarti menolak atau mencegah. Karena itu seorang qodhi disebut hakim, karena ia berupaya mencegah perbuatan zhulm (kezholiman) dari pelakunya. 
Sementara dari terminologi ada perbedaan pendapat antara Ulama’, diantaranya Ulama’ ahli ushul mengartikan “Khitab syari’ (firman Allah dan sabd Nabi) yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik yang bersifat thalab, takhyir atau wad”.
Sedangkan menurut Ulama fiqh mengartikan “Pesan dan kesan yang terkandung dalam khitab syari’ menyangkut perbuatan orang-orang mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah”. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa esensi istinbath yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Quran maupun al-Sunnh. Pada garis besarnya terdapat dua cara dalam melakukan istinbath hukum, yakni; 
- Cara lafdhiah (طرق لفظية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan pesan yang terdapat dalam nash. 
- Cara maknawiyyah ( طرق معنوية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan kesan yang terkandung dalam nash. 
Dengan adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang berpengaruh terhadap istinbath hukum dan adakalanya tidak berpengaruh pada istinbath hukum. Diatara yang berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi; Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air yaitu apabila ia telah “menyentuh” wanita (لمستم النساء ). Sementara itu, Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساء . Sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء . Berdasarkan qiroat لمستم , ada tiga versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu, 1) bersetubuh, 2) bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh. 
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan ulama. Akan tetapi Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم adalah berciuman, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna لمستم adalah menyentuh, karena pihak wanita (yang disentuh) tidak aktif . 
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat yang terakhir adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat pada qiroat لامستم makna hakikinya saling menyentuh dan bukan berarti bersetubuh. 
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa kata al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس dan المس terdapat dalam al-Quran dengan pengertian الجماع (bersetubuh). Seperti firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا . Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah bersentuh kulit, mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai berikut; - Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia menyentuh anggota tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan anggota tubuh lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak batal wudlunya, - Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan syahwat maka batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan syahwat maka tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika menyentuhnya dilakukan secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan syahwat maupun tidak. Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan qiroat dalam ayat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum, dimana menurut sebagian ulama versi qiroat لمستم النساء sedikit lebih mempertegas pendapat, yang dimaksud dengan لامستم النساء dalam ayat tersebut adalah al-lums dalam arti hakiki yaitu “bersentuh kulit” antara laki-laki dan perempuan. 
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين ) seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya. Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al-Kisa’i membaca او كفارة طعام مساكين dengan cara lafat tho’am dijadikan khabar dari mubtada’ mahdzuf. Sedangkan Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara mengidhofahkan lafat kaffarah pada lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum yang terkandung di dalamnya. 
Urgensi Mempelajari Qiroat al-Quran
       Tanpa mempelajari Uluumul Quran sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari Ulumul Quran. 
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah: 1) Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an. 2) Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain. 
Dalam suatu penggalan Al-Qur'an yang sangat dramatis dan mengesankan, tuhan mengatakan kepada kita bahwa dia telah menawarkan amanat-Nya kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya; bahwa hanya manusialah yang mau menerimanya. Murtadlha Mutahari memberikan pernyataan bahwasanya ada tiga potensi pada manusia, Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia. Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq biologis yang memiliki akal untuk berfikir merumuskan perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan al-kamil. Potensi yang ketiga adalah potensi manusia sebagai insan. 
Pada potensi inilah manusia dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna. Yaitu manusia memiliki tiga potensi sebagi makhluq biologis yang memiliki akal fikiran dan disempurnakan dengan adanya hati nurani yang senantiasa menuntun kepada perbuatan kebajikan, merindukan kedamaian, keselarasan, keharmonisan, serta ketertiban di muka bumi. Dengan keterangan di atas, maka orang yang beriman akan selalu berusaha memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Dan dengan demikian maka terlaksanalah tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan sesungguhnya manusia yang menjadikan dirinya, manusialah yang akan dibangkitkan dalam rupa manusia. 
DAFTAR PUSTAKA 
- Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran: Perbedaan Qiroat Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Quran, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 1995. 
- Drs. H. Ahmad Syadali, MA. Dkk, Ulumul Quran I, CV Pustaka Setia Bandung. 
- Drs. H. Ramli Abdul Wahid M.A, Ulumul Quran, Pt Rajagrafindo Persada, Jakarta 1996. 
- http://mahasiswastainkerinci.blogspot.com/2011/10/makalah-ulumul-quran-qiraat.html 
- http://uswatunhasanah.blogspot.com/2011/09/urgensi-mempelajari-ulumul-quran.html

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Ingin bisa memperdalaminya dimana y?

Syamsu Dhuha mengatakan...

Dipesantren2 yang khusus belajar al-Quran mungkin disitu gudangnya ilmu qira'at, klo sy hanya mengetahui sbts pengertian sj,, trima kasih udh mampir di gubuk q,

Unknown mengatakan...

Mau izin sebagai referensi makalah aku yaa. Terimakasih. Sangat bermanfaat.

Posting Komentar

About Me

Belajar adalah suatu proses yang mengantarkan kita kepada suatu kesuksesan di masa mendatang.