SELAMAT DATANG DI BLOGKU SEMOGA BERMANFAAT

Rabu, 09 Mei 2012

KEADILAN TUHAN

A. Perbedaan Paham Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, Al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun. Diatas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.
Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Sebagai kata Al-Dawwani, Tuhan adalah pemilik (Al-Malik ) yang besifat absolut dan berbuat apasaja yang dikehendaki-Nya. Yaitu sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dianggap bersifat tidak adil dan tidak baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat apasaja yang dikendaki-Nya dan dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya.
Kemutlakan dan Kekuasaan Tuhan yang digambarkan diatas dapat pula dilihat dari paham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak terpikul pada diri manusia dan dari keterangan Al-Asy’ari sendiri bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukanlah buruk. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada janji-janji kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Berlainan dengan kaum Asy’ariah ini kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti yang dikatakan Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasaan atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan. Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam, segala aspek yang ada itu. Dia adalah eksistensi yang meFmpunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui-Nya. Dia dipaham dengan eksistensi yang Esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut aliran-aliran kalam dalam memahami tantang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabakan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakan sesuatu pada tempatnya.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan, sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan.
Disamping faktor-faktor diatas, perbedaan aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang sangat besar, kekuatan Tuhan pula pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak.
B. Pemikiran Berapa Aliran Tentang Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan keehendak pada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengirinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidal mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabakan oleh kebebasan yang diberikan oleh Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur-jalur hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Itulah sebenarnya Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab yang menjelaskan kebebasan manusia. Berikut ini ayat yang dimaksudkan oleh Mu’tazilah.
Artinya : Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
Kebebasan manusia yang memang diberikan Tuhan kepadanya baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil. Dengan demikian dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak tetapi sudah terbatas.
Selanjutnya aliran Mu’tazilah mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Al-Jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak mengehendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patut bagi Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi-Nya.
Berikut ini ayat-ayat yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat aliran Mu’tazilah :
Surat Al-Anbiya ayat 47:
Artinya : Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.
Surat Yasin ayat 54 :
Artinya : Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.
Surat Fushilat ayat 46 :
Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.
Surat An-Nisa ayat 40 :
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.
Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa semua perbuatan timbul dari Tuhan, dalam hubungannya dengan hamba-Nya ditentukan oleh kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi buntuk kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik. Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.
Apabila kita memperhatikan uraian yang tersebutkan diatas, jelas sekali bahwa keadilan tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
2. Aliran Asy’ariyah
Pada aliran Asy’ariah ini mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.
Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya dan semua itu adalah adil bagi Tuhan. Justu tidak adil jika Tuhan tidak berbuat sekehendak-Nya karena dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan mengehendaki semua makhluk-Nya masuk kedalam surga atau pun neraka, itu adalah adil karena tuhan berbuat dan membuat hukum karena kehendak-Nya.
Aliran Asy’ariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, hal ini mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak adapun dzat lain diatas-Nya yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh Tuhan. Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain dikatakan tidak adil bila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah sebagai berikut :
Surat Yunus ayat 99 :
Artinya : Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
Surat Al- Buruj ayat 16 :
Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
Surat As-Sajadah ayat 13 :
Artinya : Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama."
Surat Al-An’am ayat 112 :
Artinya : Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Ayat-ayat tersebut dipahami sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Oleh sebab itu pasti berlaku untuk setiap makhluk-Nya. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri mengehendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya.
3. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan posisi penggunaan akal dan pemberian batas atas kekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturidiyah samankand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari pada yang diberikan aliran Mu’tazilah
Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa sedalam perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apasaja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlaknya, tak ada satu zat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya. Dalam hal ini tampaknya aliran Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan aliran Asy’ariyah.
Lebih jauh lagi Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidak adilan Tuhan haruslah dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak memberikan tujuan dan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

About Me

Belajar adalah suatu proses yang mengantarkan kita kepada suatu kesuksesan di masa mendatang.